Rabu, 16 Juni 2010

Dialektika Eksistesialisme Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre, (1905-1980) lahir di Paris pada 1905, belajar di École Normale Superieure 1924-1929 dan menjadi Guru Besar Filsafat di Le Havre pada 1931. Dengan bantuan uang saku dari Institut Français ia belajar di Berlin (1932) filsafat Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Setelah mengajar lebih lanjut di Le Havre, dan kemudian di Laon, ia mengajar di Lycée Pasteur di Paris 1937-1939. Sejak akhir Perang Dunia Kedua, Sartre telah hidup sebagai seorang penulis independen.

Sartre adalah salah satu penulis untuk posisi filosofis yang ditentukan adalah pusat dari mereka yang artistik. Meskipun diambil dari berbagai sumber, misalnya, gagasan Husserl kesadaran, bebas sepenuhnya disengaja dan eksistensialisme Heidegger, Sartre eksistensialisme yang dirumuskan dan dipopulerkan adalah sangat asli. Popularitasnya dan pengarangnya mencapai klimaks dalam empat puluhan, dan tulisan-tulisan teoretis Sartre serta novel dan drama merupakan salah satu sumber inspirasi utama sastra modern. Dalam ateisme pandangan filosofisnya diambil untuk diberikan; hilangnya "Allah" tidak berduka. Manusia dikutuk untuk kebebasan, kebebasan dari semua otoritas, yang mungkin berusaha untuk menghindari, mengubah, dan menolak tapi yang harus menghadapi jika ia harus menjadi moral yang. Arti hidup manusia tidak dibangun sebelum keberadaannya. Setelah kebebasan yang mengerikan diakui, manusia harus membuat makna sendiri, harus memiliki komitmen dirinya untuk peran di dunia ini, harus memiliki komitmen kebebasannya. Dan ini berusaha membuat diri sendiri adalah sia-sia tanpa solidaritas "" orang lain.

Kesimpulan penulis harus menarik dari posisi ini diatur dalam "Qu'est-ce que la littérature?" (Apa itu Sastra?), 1948: sastra tidak lagi suatu kegiatan untuk dirinya sendiri, maupun terutama deskriptif karakter dan situasi, tapi berkaitan dengan kebebasan manusia dan (dan perusahaan penulis) komitmen. Sastra berkomitmen; penciptaan seni merupakan kegiatan moral.

Sementara publikasi karyanya awal, sebagian besar studi psikologis, L'Imagination (1936), Esquisse d'une des teori dan emosi (Garis Besar Teori dari emosi), 1939, dan L'Imaginaire: phénoménologique penghibur de l'imajinasi (The Psikologi Imajinasi), 1940, tetap relatif tidak diketahui, novel pertama Sartre, La Nausée (Mual), 1938, dan kumpulan cerita Le Mur (The Wall dan Cerita lain), tahun 1938, membawa dia pengakuan langsung dan kesuksesan. Mereka secara dramatis mengungkapkan tema eksistensialis Sartre awal dari keterasingan dan komitmen, dan keselamatan melalui seni.

kerja pusat filosofis Nya, L'etre et Le néant (Menjadi dan Nothingness), 1943, adalah strukturalisasi besar konsep tentang ini, yang banyak berasal eksistensialisme modern. Humanisme eksistensialis yang menyebarkan Sartre dalam esai humanisme yang populer nya L'est un Existentialisme (Eksistensialisme adalah Humanisme), 1946, dapat dilihat dalam rangkaian novel, Les Chemins de la Liberté (The Jalan untuk Kebebasan), 1945-1949.

Sartre mungkin paling dikenal sebagai pengarang drama. Dalam Les Mouches (The Lalat) 1943, kebebasan melakukan pembunuh muda adalah diadu melawan Jupiter tak berdaya, sementara di Huis Clos (Keluar Tidak), 1947, neraka muncul sebagai kebersamaan orang.

Sartre telah terlibat secara luas di critisicm sastra dan telah menulis studi pada Baudelaire (1947) dan Jean Genet (1952). Sebuah biografi masa kecilnya, Les mots (The Words), muncul pada tahun 1964.

Dari Nobel Lectures, Literature 1901-1967, Editor Horst Frenz, Elsevier Publishing Company, Amsterdam, 1969

autobiografi ini / biografi ditulis pada saat penghargaan dan pertama kali diumumkan dalam seri buku Les Prix Nobel. Ia kemudian diedit dan diterbitkan ulang di Nobel Lectures. Untuk mengutip dokumen ini, selalu negara sumber seperti yang ditunjukkan di atas.


Kebebasan Manusia, dan Ateisme

Masalah “Ada”

“Eksistensi mendahului esensi”, begitulah selalu filusuf-filusuf eksistensialis berkata, ”dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.

Bagi Sartre manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan “kesadaran akan sesuatu”. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuah forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari bahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.

Untuk memperjelas masalah ini, filusuf bermata juling ini menciptakan dua buah istilah; être-en-soi, dan être-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda.

Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya, sifatnya être-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifat être-pour-soi, eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati.

Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap ateismenya.


Ateisme Sarte

Sudah kita bahas di atas tentang hubungan antara dua cara meng-Ada. Ada-nya benda, tidak mempunyai kesadaran, tidak memiliki potensi, dan tak ada hubungannya dengan Ada manusia yang dihayati lewat kesadaran, dan dengan cara meniadakan, atau menjadikan yang lain sebagai benda.

Dalam konsepsi agama -misalnya Islam, Adam (manusia) diciptakan Tuhan dengan mengemban tugas tertentu. Dalam bahasa Sartre sebelum ia bereksistensi, ia lebih dulu direncanakan esensinya. Tapi pada kenyataannya pola esensi yang dimiliki manusia adalah yang sifatnya penuh dengan potensi. Ia tak pernah bisa didefinisikan esensinya hingga kematiannya. Selain itu, karakteristik dasar dari kesadaran manusia adalah keterarahan kepada sesuatu (intensionalitas), sekaligus egois. Kontradiktif dengan konsepsi Tuhan sebagai penentu esensi manusia, atau dengan kata lain membuat manusia menjadi benda.

Sebelum Sartre, dunia juga mengenal Friedrich Nietzsche, sang nihilis dari Prussiayang kondang dengan frasanya; “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet.” Bedanya, jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dengan tiba-tiba, maka Sartre melakukannya dengan lebih dulu menunjukkan kerancuan logika mengenai keberadaan Tuhan.


Kebebasan manusia

Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa dua orang ini perlu repot-repot untuk membunuh Tuhan?

Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka! Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat être-pour-soi, manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.

Namun kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Karena itu filusuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang provokatif; “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”

Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya.

Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri

Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran dari para kritikusnya.

”Dosa asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian kira- menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filusuf yang mengagumi ide-idenya Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; être-en-soi, dan être-pour-soi, karena dari sini muasalnya asumsi Sartre. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu. Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain, kesadaran yang menegasi, bertem dengan jenis yang sama.

Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll).

Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.”

Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama menjadikan C sebagai objek. Begitulah filusuf ini menjelaskan bagaimana sebuah perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.


Tidak ada komentar: